Sunday, August 21, 2005

Positif Mental Attitude

Kemampuan Memilih

Menjaga kesadaran diri bahwa kita berkuasa membuat pilihan dalam
situasi apapun, bukanlah hal yang mudah. Rasa tak berdaya dan
perasaan menjadi korban dari suatu keadaan bisa membuat
kita "terpaksa" melakukan suatu tindakan yang tak sesuai dengan
keyakinan atau nilai yang kita junjung tinggi. Seperti orang yang
tertangkap karena melanggar rambu lalu lintas bisa merasa "terpaksa"
menyogok polantas agar segera dibebaskan dan dapat melaksanakan
aktivitasnya yang "lebih penting". Atau seperti seseorang yang ingin
mempercepat proses pengurusan surat-surat tertentu di kelurahan
merasa "terpaksa" menyuap petugas kelurahan yang memang
doyan "disuap".

Rasa tak berdaya atau perasaan menjadi korban semacam itu bisa
membuat kita menghalalkan neka ragam tindakan yang tak baik. Karena
tak punya uang, orang merasa "terpaksa" menjadi maling, copet, atau
pencuri. Karena keluarga miskin dan tak punya bekal pendidikan
formal yang memadai, sejumlah perempuan remaja "terpaksa" menjadi
pekerja seks komersial. Karena gaji pegawai negeri dianggap tak
mencukupi, maka sejumlah orang merasa "terpaksa" korupsi. Karena
kepanasan atau kehujanan sejumlah orang merasa "terpaksa" mengeluh.
Karena dimarahi, orang merasa "terpaksa" memukul, atau bahkan
membunuh. Dan seterusnya.

Begitulah, di sekolah kehidupan kita sering menyaksikan neka ragam
sikap dan tindakan dilakukan oleh seseorang karena "merasa
terpaksa". Seolah-olah tidak ada pilihan lain atau tidak ada
kemampuan untuk memilih yang lain, di luar yang "terpaksa" itu.

Benarkah orang lain, situasi, dan keadaan tertentu bisa memaksa kita
untuk melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan? Bisakah kita
dipaksa untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan
keyakinan pribadi kita? Saya tak memiliki jawaban yang mutlak. Namun
sebuah cerita yang beredar lewat surat-surat elektronik berikut ini
mungkin bisa menolong kita menyadari kembali potensi dan kemampuan
yang kita miliki. Berikut kutipannya:

Dicky adalah manajer sebuah restoran. Ia selalu dalam keadaan bugar
secara emosional. Ketika seseorang bertanya tentang kabar atau
keadaannya, ia selalu menjawab dengan gembira, "Jika saya bisa lebih
baik, saya pastilah kembar!".

Sejumlah pegawai restoran akan berhenti dari tempat kerjanya saat
Dicky memutuskan pindah, agar mereka dapat ikut bekerja lagi bersama
Dicky di restoran yang baru.

Mengapa?

Sebab Dicky adalah motivator yang handal. Jika seorang pegawai
mengeluh tentang hidupnya, Dicky selalu bersedia mendengarkan, dan
kemudian mengajak pegawai tersebut melihat situasi yang dialaminya
dari sisi yang positif.

Melihat caranya yang demikian membuat saya sangat ingin tahu,
sehingga suatu hari saya menemuinya dan bertanya langsung
padanya: "Saya tak mengerti! Tidak seorang pun yang pernah saya
kenal bisa bertindak selalu positif seperti Anda. Bagaimana Anda
bisa demikian positif terhadap segala sesuatu?"

Dicky menjawab, "Setiap pagi saya bangun dan berkata pada diri
sendiri, saya punya dua pilihan hari ini. Saya bisa memilih untuk
merasa baik ATAU merasa buruk hari ini. Saya selalu memilih untuk
merasa baik. Setiap kali ada hal buruk yang terjadi, saya masih bisa
memilih merasa menjadi korban ATAU memilih untuk menarik pelajaran
dari hal-hal tersebut. Saya selalu memilih untuk menarik pelajaran
dari kejadian seburuk apapun. Setiap kali seseorang datang untuk
mengeluh pada saya, saya bisa memilih untuk menerima keluhan mereka
ATAU mencari sisi positif dari keluhan tersebut. Dan saya selalu
memilih untuk mencari sisi positifnya."

"Tapi pastilah tidak selalu semudah itu," bantah saya.

"Ya semudah itu," kata Dicky.

"Hidup adalah soal pilihan-pilihan. Ketika Anda melihat semuanya
dengan jernih, setiap situasi adalah sebuah pilihan. Anda memilih
bagaimana merespons sebuah situasi. Anda memilih bagaimana orang
lain mempengaruhi suasana hati Anda. Anda memilih untuk merasa baik
atau merasa malang. Andalah yang memilih bagaimana menjalankan hidup
Anda sendiri".

Beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar bahwa Dicky secara tak
sengaja melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun
yang mengelola bisnis restoran. Ia meninggalkan pintu belakang
restorannya terbuka tak terkunci.

Lalu?

Pagi harinya ia dirampok oleh tiga orang bersenjata. Mereka
menginginkan semua uang yang dimilikinya. Ketika Dicky mencoba
membuka safe deposit box-nya, tangannya gemetar karena gugup,
sehingga ia tak bisa memutar kombinasi yang tepat. Para perampok
menjadi panik dan menembaknya sebelum kabur.

Untunglah, Dicky cepat ditemukan dan dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Setelah 18 jam operasi dan berminggu-minggu perawatan
intensif, Dicky akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit
dengan sejumlah pecahan peluru masih tertinggal dalam tubuhnya.

Saya bertemu lagi dengan Dicky sekitar 6 bulan setelah kejadian
tersebut. Dan ketika saya menanyakan keadaannya, ia menjawab, "Jika
saya bisa lebih baik, saya pastilah kembar. Mau lihat bekas
lukanya?"

Saya menolak melihatnya, tetapi bertanya apa yang ada dibenaknya
ketika perampokan berlangsung.

"Hal pertama yang melintas dalam pikiran adalah saya seharusnya
mengunci pintu belakang," jawab Dicky.

"Lalu, setelah ditembak, saya terbaring dilantai, saya ingat bahwa
saya memiliki dua pilihan: saya bisa memilih untuk mencoba bertahan
hidup ATAU memilih mati. Saya memilih tetap hidup."

"Apakah Anda tidak merasa takut?" tanya saya.

Dicky meneruskan, "Paramedis sungguh luar biasa. Mereka mengatakan
bahwa saya pasti bisa diselamatkan. Namun ketika mereka mendorong
saya ke ICU dan saya melihat ekspresi wajah para dokter dan perawat,
saya benar-benar menjadi takut. Dari sorot mata mereka, saya
membaca `orang ini akan mati'. Saat itu saya tahu saya harus
melakukan sesuatu."

"Apa yang Anda lakukan?" tanya saya.

"Nah, ada seorang perawat yang bertanya kepada saya," kata
Dicky. "Ia bertanya apakah saya alergi terhadap sesuatu."

"Ya," jawab saya.

Para dokter dan perawat berhenti bekerja dan menunggu penjelasan
saya lebih jauh. Saya menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Saya
alergi peluru! Tolong keluarkan peluru itu dari tubuh saya'. Itu
membuat mereka tertawa. Ditengah tawa mereka, saya berkata, 'Saya
memilih untuk hidup. Tolong operasi saya seperti orang yang ingin
tetap hidup, bukan seperti orang yang akan mati'.

Dicky bertahan hidup karena kemampuan para dokter yang menangani
operasinya, tetapi juga karena sikap hidupnya yang mengagumkan.

Saya belajar darinya bahwa setiap hari Anda punya pilihan untuk
menikmati hidup Anda atau membencinya dengan alasan apapun.

Hal satu-satunya yang merupakan milik Anda---sesuatu yang tidak bisa
dikendalikan atau diambil dari diri Anda---adalah sikap pribadi
Anda. Dan jika Anda menjaga sikap Anda tetap positif, maka hal
apapun yang lain dalam hidup ini akan menjadi lebih mudah untuk
dihadapi.

Tidak jelas apakah kisah Dicky di atas berasal dari kisah nyata atau
rekaan para penganut positive mental attitude. Namun satu hal jelas
bagi saya bahwa ada sebuah wilayah dalam diri setiap manusia yang
memang tak bisa dipaksa oleh apapun atau oleh siapapun secara
mutlak. Dalam wilayah itu, terdapat potensi kemampuan untuk memilih
secara relatif bebas. Kita bebas memilih apa yang ingin kita
pikirkan, apa yang ingin kita rasakan, apa yang ingin kita katakan,
dan apa yang ingin kita lakukan terhadap situasi dan kondisi yang
kita hadapi. Kemampuan untuk secara relatif bebas memilih sikap
pribadi ada pada kita, ada di dalam diri kita. Kemampuan untuk bisa
memilih secara bebas bahkan menjadi salah satu ciri pokok dari
keadaan kita sebagai manusia. Kita bukan mesin komputer yang harus
menerima diprogram apa saja tanpa bisa menolak sedikitpun. Kita
justru adalah pencipta komputer, pencipta program-program yang bisa
menganalisis baik-buruknya sebuah program. Kita diberi kemampuan
untuk menciptakan sejumlah hal berdasarkan bahan baku yang telah
lebih dulu diciptakan Tuhan, Sang Maha Pencipta.

Masalah yang ada kalanya kita lupakan adalah kemampuan untuk secara
bebas memilih sikap pribadi dalam situasi yang bagaimana pun itu,
melahirkan apa yang menjadi ciri khas manusia yang manusiawi, yakni:
tanggung jawab. Dan boleh jadi inilah pokok persoalan yang membuat
kita, sadar ataupun tak sadar, lebih suka memilih untuk
merasa "terpaksa" melakukan sesuatu yang tak baik. Karena, dengan
merasa "terpaksa" kita sesungguhnya ingin lari dari tanggung jawab
atas sikap dan perbuatan yang tak baik itu. Kita pura-pura lupa
bahwa kita memang memiliki kebebasan untuk memilih sikap tertentu,
namun setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing-masing, yang
mengikat dan menuntut tanggung jawab kita. Mencoba lari dari
konsekuensi sebuah sikap yang telah kita pilih itu ibarat koruptor
yang mengaku "terpaksa" korupsi karena atasan dan teman-temannya
semua korupsi, atau karena gaji yang diterimanya tiap bulan tak
mencukupi kebutuhan hidup. Pantaskah ia dibenarkan karena alasan
semacam itu?

Sekarang Anda, pembaca tulisan ini, juga diperhadapkan pada beberapa
pilihan sederhana: pertama, melupakan tulisan ini begitu saja;
kedua, mengambil refleksi untuk menata ulang sikap-sikap pribadi
Anda ke arah yang lebih baik; ketiga, mencari seorang kawan untuk
mendiskusikan hal ini lebih lanjut; keempat, menggandakan artikel
ini untuk orang-orang yang menurut Anda akan memerlukannya; ATAU
terserah Anda saja. Saya tak bisa memaksa Anda memilih yang mana,
bukan?

Sumber: Kemampuan Memilih oleh Andrias Harefa. Andrias Harefa saat
ini menjabat sebagai Executive Director PT. Spirit Mahardika.

No comments: